PENGENALAN GEJALA KERUSAKAN
TANAMAN
(Laporan Praktikum Pengendalian Hama Tanaman)
Oleh
Nasrulloh Zein
Maksum
1414121162
Kelompok 8
JURUSAN
AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS
LAMPUNG
2016
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seiring
dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan manusia akan bahan pangan dan
hortikultura, maka pertanian tradisional di Indonesia mulai berkembang dan
lebih dipuerhatikan lagi perkembangannya. Tanaman pangan merupakan jenis–jenis
tanaman yang mengandung karbohidrat,yang merupakan sumber pangan bagi
manusia,sedangkan tanaman hortikultura merupakan tanaman sayur-sayuran dan
buah-buahan yang mengandung protein dan lainnya.
Pada bubidaya pertanian petani
sering menghadapi suatu masalah besar berupa gangguan hama dan
penyakit serta ketidakseimbangan hara. Beberapa serangan hama dan penyakit,
sering kali menampilkan keragaan yang serupa tapi tak sama dengan
ketidakseimbangan hara. Hama adalahorganisme yang
dianggap merugikan dan tak diinginkan dalam kegiatan sehari-hari manusia.
Walaupun dapat digunakan untuk semua organisme, dalam praktik istilah ini
paling sering dipakai hanya kepada hewan.
Dalam pertanian, hama adalah organisme
pengganggu tanaman yang menimbulkan kerusakan secara fisik, dan ke dalamnya
praktis adalah semua hewan yang menyebabkan kerugian dalam pertanian.
Hama dari jenis serangga dan
penyakit merupakan kendala yang dihadapi oleh setiap para petani yang selalu
mengganggu perkembangan tanaman budidaya dan hasil produksi pertanian. Hama dan penyakit tersebut merusak bagian
suatu tanaman, sehingga tanaman akan layu dan bahkan mati Dalam kegiatan
pengendalian hama, pengenalan terhadap jenis-jenis hama (nama umum, siklus
hidup, dan karakteristik), inang yang diserang, gejala serangan, mekanisme
penyerangan
termasuk tipe alat makan serta gejala kerusakan tanaman menjadi sangat penting
agar tidak melakukan kesalahan dalam mengambil langkah/tindakan pengendalian. Serangan
hama pada suatu tanaman akan menimbulkan gejala yang khas, hal ini terkait
dengan alat mulut serta perilaku yang dimiliki oleh masing-masing serangga yang
juga memiliki ciri khas tersendiri.
1.2 Tujuan Praktikum
Adapun
tujuan dilakukannya praktikum ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui kerusakan dan jenis hama yang menyerang dan tipe alat
mulutnya
2. Mengetahui prilaku menyerang hama dan cara pengendalianya.
II. METODOLOGI
PRAKTIKUM
2.1 Waktu dan Tempat
Praktikum ini dilaksanakan pada
tanggal 30
Maret 2016 di Laboratorium Hama
dan Penyakit Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Lampung,
pada pukul 15.00 sampai dengan selesai.
2.2 Alat
dan Bahan
Adapun alat yang digunakan dalam
praktikum ini adalah alat tulis berupa pensil atau pena, kertas, dan telepon
genggam. Sedangkan bahan yang digunakan adalah Daun singkong, Daun jagung dan daun kacang panjang.
2.3 Cara Kerja
Adapun
cara kerja praktikum ini yaitu pertama-tama praktikan diberi penjelasan tentang
kegiatan praktikum. Disediakan
spesimen berupa daun singkong, daun jagung dan daun kacang panjang..
Kemudian
diamati dan
ditulis deskripsi gejalanya
dan tipe mulut dari hama tersebut. Setelah itu specimen difoto.
III. HASIL
PENGAMATAN DAN PEMABAHASAN
3.1 Hasil
Pengamatan
No.
|
Foto
dan Nama
|
Deskripsi
gejala
|
Tipe
dan Alat Mulut
|
Prilaku
Menyerang Dan Bioekologi
|
Pengendalian
|
1.
|
Ulat Grayak
|
Terdapat lubang di tengah
daun
|
Mandibulata
|
Menyerang dari tengah
Fase yang menjadi hama adalah larva
|
Sanitasi Lingkungan
Penggunaan Insektisida
|
2.
|
Tungau
|
Terdapat warna kuning
memerah pada bagiab tengah tulang daun
|
Haustelata
|
Serangan berupa di
pertengahan tulang daun
Fase yg menjadi hama:imago
|
Penggunaan musuh alami
Penggunaan akarisida
|
3.
|
Belalang
|
Terdapat luka bergerigi di
pinggir daun/dimakan belalang.
|
Mandibulata
|
Serangan di pinggir.
Fase yg menjadi hama:imago
|
Sanitasi lingkungan
Penggunaan musush alami ,insektisida
|
3.2 Pembahasan
1. Ulat Grayak
Bioekologi
Perkembangan ulat grayak bersifat metamorfosis sempurna, terdiri atas
stadia ulat, kepompong, ngengat dan telur Ulat tua bersembunyi di dalam tanah
pada siang hari dan giat nenyerang tanaman pada malam hari(Borror,1992).
1. Telur.
Telur berbentuk hampir bulat dengan bagian dasar melekat pada daun
(kadang- kadang tersusun dua lapis), berwarna coklat kekuningan, . Telur
diletakkan pada bagian daun atau bagian tanaman lainnya, baik pada tanaman
inang maupun bukan inang. Bentuk telur ber- variasi. Kelompok telur tertutup
bulu seperti beludru yang berasal dari bulu- bulu tubuh bagian ujung ngengat
betina, berwarna kuning kecoklatan. Produksi
telur mencapai 3.000 butir per induk betina, tersusun atas 11 kelompok dengan
rata-rata 25 -200 butir per kelompok. Stadium telur berlangsung selam 3 hari
(2;10;12). Setelah telur menetas, ulat tinggal untuk sementara waktu di tempat
telur diletakkan. Beberapa hari kemudian, ulat tersebut berpencaran(Borror,1992).
2. Larva
Larva mempunyai warna yang ber- variasi, memiliki kalung (bulan
sabit) berwarna hitam pada segmen abdomen keempat dan kesepuluh .Pada sisi
lateral dorsal terdapat garis kuning. Ulat yang baru menetas berwarna hijau
muda, bagian sisi coklat tua atau hitam kecoklatan, dan hidup berkelompok
(Gambar 1a). Beberapa hari setelah
menetas (bergantung ketersediaan makan- an), larva menyebar dengan
menggunakan benang sutera dari mulutnya. Pada siang hari, larva bersembunyi di
dalam tanah atau tempat yang lembap dan menyerang tanaman pada malam hari atau
pada intensitas cahaya matahari yang rendah. Biasanya ulat berpindah ke tanaman
lain secara bergerombol dalam jumlah besar.
Stadium ulat terdiri atas 6 instar yang berlangsung selama 14 hari. Ulat
instar I, II dan III, masing-masing berlangsung sekitar 2 hari. Ulat
berkepompong di dalam tanah. Stadia kepompong dan ngengat, masing-masing
berlangsung selama 8 dan 9 hari. Ngengat meletakkan telur pada umur 2-6
hari. Ulat muda menyerang daun hingga
tertinggal epidermis atas dan tulang-tulang daun saja. Ulat tua merusak pertulangan daun hingga tampak
lobang-lobang bekas gigitan ulat pada daun.
Warna dan perilaku ulat instar terakhir mirip ulat tanah Agrothis
ipsilon, namun terdapat perbedaan yang cukup mencolok, yaitu pada ulat grayak
terdapat tanda bulan sabit berwarna hijau gelap dengan garis punggung gelap
memanjang. Pada umur 2 minggu, panjang ulat sekitar 5 cm. Ulat berkepompong di
dalam tanah, membentuk pupa tanpa rumah pupa (kokon), berwarna coklat kemerahan
dengan panjang sekitar 1,60 cm. Siklus hidup berkisar antara 30-60 hari (lama
stadium telur 24 hari). Stadium larva terdiri atas 5 instar yang berlangsung
selama 20-46 hari. Lama stadium pupa 8-11 hari(Borror,1992).
Pengendalian Secara Teknis
Pengendalian dilakukan dengan melakukan teknis budidaya yang benar.
Beberapa upaya teknis untuk mengurangi serangan ulat grayak adalah menjaga
sanitasi kebun, pengolahan tanah (pencangkulan dan penggaruan), penggiliran
tanaman.
Pengendalian Mekanis
Lakan penangkapan secara manual, terutama terhadap larva.
Pengendalian ini efektif dilakukan pada malam hari. Jika ditemukan sekumpulan
telur yang berada di permukaan daun dan diselimuti seperti benang kelamat,
segera musnahkan(Direktorat, 2001).
Pengendalian Secara biologi
Pengendalian ini pada initinya menitikberatkan pada pemanfaatan
musuh alaminya. Terdapat beberapa musuh alami ulat grayak baik dari jenis
predator, parasitoid, maupun patogen. Beberapa jenis predator yang bisa
dimanfaatkan untuk menekan populasi ulat grayak antara lain Lycosa
pseudoannnulata (Araceae), Paederus fuscipes (Coleoptera), Euburellia stali
(Dermaptera), dan Eocantheocona furcellata (Hemiptera). Sementara itu, jenis
parasitoid yang dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan ulat grayak adalah Apanteles
sp. (Hymenoptera), dan Telenomus sp. (Hymenoptera). Sedangkan patogen yang
dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan ulat grayak adalah SlNPV dan Beauveria
bassiana(Direktorat, 2001).
Pengendalian Kimiawi
Upaya pengendalian kimiawi hanya dilakukan apabila serangan tidak
terkendali setelah dilakukan upaya-upaya pengendalian di atas. Ulat grayak
tergolong jenis ulat yang mudah resisten atau kebal terhadap suatu jenis bahan
aktif pestisida. Oleh karena itu, penggiliran bahan aktif pestisida setiap kali
penyemprotan merupakan kunci keberhasilan pengendalian Spodoptera sp.
Penggantian bahan aktif dapat memutus resistensi ulat grayak terhadap
pestisida. Pengendalian kimiawi dapat dilakukan dengan menggunakan insektisida
berbahan aktif sipermetrin, deltametrin, profenofos, klorpirifos, metomil,
kartophidroklorida, atau dimehipo dengan dosis sesuai petunjuk yang tertera
pada kemasan dan dilakukan secara berseling setiap kali penyemprotan (Direktorat, 2001).
2. Tungau
Tungau adalah sekelompok hewan kecil
bertungkai delapan yang menjadi anggota superordo Acarina. Tungau berbeda
dengan serangga (Insecta), tetapi lebih dikategorikan pada laba-laba. Hingga
saat ini terdapat puluhan jenis tungau yang sudah ditemukan, tetapi taksonomi
tungau belum stabil karena masih ditemukan banyak perubahan(Mardiningsih,2007).
Dalam kondisi kering dengan suhu
optimal 27° C tungau dapat menetas dalam waktu 3 hari, dan menjadi dewasa
secara 5eksual dalam waktu 5 hari. Satu ekor tungau betina dapat bertelur
hingga 20 butir per hari dan dapat hidup selama 2-4 minggu dan dapat meletakkan
ratusan telur. Seekor tungau betina tunggal dapat menurunkan populasi hingga
satu juta ekor tungau dalam waktu satu bulan. Tingkat reproduksi yang sangat
cepat memungkinkan populasi tungau untuk beradaptasi dan melawan pestisida,
sehingga metode pengendalian secara kimia menjadi kurang efektif ketika
pestisida dengan bahan aktif yang sama digunakan dalam jangka waktu yang lama(Mardiningsih,2007).
Tungau betina bersifat diploid tungau
sedangkan tungau jantan bersifat haploid. Artinya, tungau betina merupakan
keturunan dari telur yang dibuahi oleh tungau jantan, sendangkan tungau jantan
merupakan keturunan dari telur yang tidak dibuahi. Ketika melakukan perkawinan,
tungau betina akan menghindari terjadinya pembuahan pada beberapa butir telur
untuk menghasilkan tungau jantan. Telur yang dibuahi akan menghasilkan betina
diploid. Sementara telur yang tidak dibuahi akan menghasilkan tungan jantan
haploid(Mardiningsih,2007).
Tungau menyerang tanaman dengan cara
menusuk permukaan daun dan menghisap cairannya. Kerusakan akibat serangan
tungau tidak bisa disepelekan. Selain merusak daun, tungau juga berpotensi
menyerang batang dan buah. Hama ini menyerang tanaman pada berbagai musim
karena memiliki kemampuan beradaptasi di berbagai habitat, seperti lumut,
tanah, rumput, bahkan hingga gudang penyimpanan. Tungau bersifat polyfag, semua
jenis tanaman diserang.
Gejala
Serangan Tungau
Umumnya
tungau bersembunyi di balik daun dan menghisap cairan daun dalam jaringan
mesofil hingga jaringan itu rusak. Akibatnya klorofil menjadi rusak dan
menghambat proses fotosintesis tanaman. Serangan ditandai dengan munculnya
bintik kuning di permukaan daun. Bintik tersebut lama-kelamaan melebar lalu
berubah menjadi kecokelatan dan akhirnya menghitam. Daun menjadi terpelintir
(distorsi), menebal, berbentuk seperti sendok terbalik, serta bagian bawah daun
berwarna seperti tembaga dan terdapat benang-benang putih halus (Mardiningsih,2007).
Pengendalian
Tungau
Beberapa
usaha pengendalian yang dapat dilakukan untuk menghidari terjadinya peningkatan
populasi tungau, diantaranya dengan cara mekanis, teknik budidaya, biologis,
dan penggunaan bahan kimia (pestisida).
1.
Mekanis
Pengendalian
tungau yang seringkali dilakukan dengan cara mekanis yaitu, mengambil secara
langsung telur, larva, nimfa, atau imago kemudian dimusnahkan; dapat juga
dengan menyemprotkan air beberapa kali sehingga tungau tercuci(Natawigena,1990).
2.
Teknik Budidaya
Pengendalian
dengan teknik budidaya dapat dilakukan dengan menggunakan tanaman atau varietas
yang resisten (tahan), rotasi (pergiliran) tanaman, pemupukan, dan sanitasi
lingkungan. Pemakaian varietas resisten terhadap serangan tungau belum banyak
dilakukan. Hal ini disebabkan karena belum banyak para ahli yang menelitinya,
lebih-lebih di negara kita ini.
Di
Mesir telah ditemukan varietas kapas yang tahan terhadap serangan tungau
Tetranychus telarius yaitu Rahtim-101. Varietas ini memiliki bulu yang lebat
dan bercabang sehingga menyulitkan stilet (alat mulut) tungau tersebut untuk
menusuknya. Varietas ubi kayu Adira 4, Adira 1, Adira 2, Malang 2, dan Malang 6
adalah tahan terhadap tungau merah ubi kayu (Sinuraya, 2005).
Pemupukan
tanaman dapat dilakukan dengan tujuan untuk mengusahakan agar pertumbuhan
tanaman menjadi lebih baik, sehingga diperoleh hasil yang cukup tinggi; akan
tetapi apabila jenis dan dosisnya kurang tepat maka dapat memberikan dampak
sebaliknya. Sebagai contoh pada pemupukan N yang berlebihan pada tanaman kacang
tanah, ternyata dapat meningkatkan serangan tungau Tetranychus telarius lebih
tinggi.
Sanitasi
merupakan tindakan yang cukup penting, khususnya terhadap tanaman yang telah
mendapat serangan tungau berat. Pada tanaman yang terserang berat, apabila
telah dipanen sebaiknya dibersihkan dari sisa-sisa bagian tanaman yang menjadi
tempat persembunyian tungau.
Pengaturan
pergiliran tanaman merupakan salah satu cara usaha pengendalian yang baik
terhadap serangan tungau. Pada rotasi tanaman yang perlu diperhatikan adalah
agar dalam penanaman berikutnya tidak menanam tanaman yang sama atau tanaman
yang sedang menjadi inang bagi tungau saat itu. Selain itu diusahakan menanam
tepat waktu, misalnya menanam ubi kayu pada lahan kering hendaknya diusahakan
pada saat awal musim hujan(Natawigena,1990).
3.
Biologis (Hayati)
Usaha
pengendalian biologis dapat dilakukan dengan menggunakan musuh alami, namun
demikian di lapang masih belum / bahkan kurang mendapat perhatian pada
pengendalian serangan tungau. Penggunaan musuh alami ini akan dapat membantu
pelestarian lingkungan (alam sekitarnya), bahkan dapat menghindari terjadinya
resistensi (kekebalan) tungau terhadap bahan pengendali kimiawi (pestisida) (Natawigena,1990).
4.
Bahan Kimia (Pestisida)
Pengendalian
tungau dengan menggunakan pestisida (akarisida) hendaknya dilakukan, bilamana
usaha-usaha pengendalian yang lainnya sudah tidak mungkin dapat dilakukan. Beberapa akarisida yang sudah terdaftar pada
komisi pestisida, dan beredar dipasaran antara lain : Omite 57 EC, Morestan 25
WP, Kelthane MF, Plictran 50 WP, Hostathion 40 EC, dan Silosan (Anonim, 1987).
Angka yang tercantum pada nama pestisida mununjukkan kadar persentase bahan
aktif yang dikandungnya. Apabila angkanya lebih besar dari 90 persen, maka
pestisida tersebut murni (technical grade) (Natawigena,1990).
3. Belalang
Hama
Belalang (Locusta migratoria)
Belalang
betina mampu menghasilkan telur sekitar 270 butir. Telur
berwarnakeputih-putihan dan berbentuk buah pisang, tersusun rapi sekitar 10 cm
di bawah permukaan tanah. Menurut BPOPT (2000), telur akan menetas setelah 17
hari(Novizan,2002).
Imago
betina yang berwarna coklat kekuningan siap meletakkan telur setelah 5-20 hari,
tergantung temperatur. Seekor betina mampu menghasilkan 6-7 kantong telur dalam
ta nah dengan jumlah telur 40 butir per kantong. Imago betina hanya membutuhkan
satu ka li kawin untuk meletakkan telur-telurnya dalam kantong-kantong
tersebut. Imago jant anyang berwarna kuning mengkilap berkembang lebih cepat
dibandingkan dengan betina. Lama hidup dewasa adalah 11 hari.
Siklus
hidup rata-rata 76 hari, sehingga dalam setahun dapat menghasilkan 4-5 genera
si di daerah tropis, terutama Asia Tenggara. Di daerah subtropis, serangga ini
hanya menghasilkan satu generasi per tahun. Belalang kembara mengalami tiga
fase pertum buhan populasi yaitu fase soliter, fase transien, dan fase
gregaria. Pada fase soliter, belalang hidup sendiri-sendiri dan tidak
menimbulkan kerusakan bagi tanaman. Pada fase gregaria,belalang kembara hidup
bergerombol dalam kelompok-kelompok besar,
berpindah-pindah
tempat dan merusak tanaman secara besar-besaran(Novizan,2002).
Perubahan
fase dari soliter ke gregaria dan dari gregaria kembali ke soliter dipengaruhi
oleh iklim, melalui fase yang disebut transien.Perubahan fase soliter ke
gregaria dimulai pada awal musim hujan setelah melewati musim kemarau yang
cukup kering (di bawah normal). Pada saat itu, biasanya terjadi peningkatan
populasi belalang soliter yang berdatangan dari berbagai lokasi ke suatu lokasi
yang secara ekologis sesuai untuk berkembang Lokasi tersebut biasanya berupa
lahan yang terbuka atau banyak ditumbuhi rumput, tanah gembur berpasir, dan
dekat sumber air (sungai, danau, rawa) sehingga kondisi tanah cukup lembab.
Setelah berlangsung 3-4 generasi, apabila kondisi lingkungan memungkinkan, fase
soliter akan berkembang menjadi fase gregaria, melalui fase transien. Lokasi
ini dikenal sebagai lokasi pembiakan awal(Novizan,2002).
Perubahan
fase gregaria kembali ke fase soliter biasanya terjadi apabila keadaan ling
kungan tidak menguntungkan bagi kehidupan belalang, terutama karena pengaruh cu
rah hujan, tekanan musuh alami dan atau tindakan pengendalian oleh manusia.
Perubahan ini juga melalui fase transien (Novizan,2002).
Belalang
kembara pada fase gregaria aktif terbang pada siang hari berkumpul dalam
kelompok-kelompok besar. Pada senja hari, kelompok belalang hinggap pada suatu
lokasi, biasanya untuk bertelur pada lahanlahan kosong, berpasir, makan tanaman
yang dihinggapi, dan kawin. Pada pagi hari, kelompok belalang terbang untuk
berputar-putar atau pindah lokasi. Pertanaman yang dihinggapi pada malam hari
biasanya dimakan sampai habis. Kelompok besar nimfa (belalang muda) biasanya
berpindah tem pat dengan berjalan secara berkelompok. Sepanjang perjalanannya
jugamemakan tanaman yang dilewati. Tanaman yang paling disukai belalang kembara
adalah kelompok Graminae yaitu padi, jagung, sorgum, tebu, alang-alang,
gelagah, dan ber bagai jenis rumput. Selain itu, belalang juga menyukai daun
kelapa, bambu, kacang tanah, petsai, sawi, dan kubis daun. Tanaman yang tidak
disukai antara lain adalah kacang hijau, kedelai, kacang panjang, ubi kayu,
tomat, ubi jalar, dan kapas(Nyoman,1998).
Gejala
Serangan
Gejala
serangan belalang tidak spesifik, bergantung pada tipe tanaman yang diserang
dan tingkat populasi. Daun biasanya bagian pertama yang diserang.
Hampir
keseluruhan daun habis termasuk tulang daun, jika serangannya parah.Spesies ini
dapat pula memakan batang dan tongkol jagung jikapopulasinya sangat tinggi de
ngan sumber makanan terbatas(Nyoman,1998).
Pengendalian
Hayati
Agens
hayati M. anisopliae var. acridium, B. bassiana, Enthomophaga sp.dan Nosuma
locustae di beberapa negara terbukti dapat digunakan padasaat populasi belum
meningkat(Nyoman,1998).
Pola
Tanam
Di
daerah pengembangan tanaman pangan yang menjadi ancaman hama belalang kembara
perlu dipertimbangkan pola tanam dengan tanaman alternatif yang tidak atau
kurang disukai belalang dengan sistem tumpang sari atau diversifikasi.Pada
areal yang sudah terserang belalang dan musim tanam belum terlambat, diupayakan
segera pena naman kembali dengan tanaman yang tidak disukai belalang seperti,
kedelai, kacang hijau, ubi kayu, ubi jalar, kacang panjang, tomat, atau tanaman
yang kurang disukai belalang seperti kacang tanah, petsai, kubis, dan sawi(Nyoman,1998).
Mekanis
Melakukan
gerakan masal sesuai stadia populasi:Stadia telur. Untuk mengetahui lokasi
telur maka dilakukan pemantauan lokasi dan waktu hinggap kelompok belalang
dewasa secara intensif. Pada areal atau lokasi bekas serangan yang diketahui
terdapat populasi telur,
dilakukan
pengumpulan kelompok telur melalui pengolahan tanah sedalam 10 cm, kelompok
telur diambil dan dimusnahkan, kemudian lahan segera ditanami kembali dengan
tanaman yang tidak disukai belalang(Pracaya,1993).
Stadia
nimfa. Setelah dua minggu sejak hinggapnya kelompok belalang kembara mulai
dilakukan pemantauan terhadap kemungkinan adanya nimfa. Nimfa dikendalikan
dengan cara memukul, menjaring, membakar atau menggunakan perangkap lainnya.
Menghalau nimfa ke suatu tempat yang sudah disiapkan di tempat terbuka untuk
kemudian dimatikan. Nimfa yang sudah ada di tempat terbuka apabila memungkinkan
juga dapat dilakukan pembakaran namun harus hati-hati agar api tidak merembet
ke tempat lain. Pengendalian nimfa berperan penting dalam menekan perkembangan
belalang(Pracaya,1993).
Kimiawi
Dalam
keadaan populasi tinggi, perlu segera diupayakan penurunan populasi. Apabila
cara-cara lain sudah ditempuh tetapi populasi masih tetap tinggi maka
insektisida yang efektif dan diijinkan dapat diaplikasikan.
Jenis
insektisida yang dapat digunakan untuk mengendalikan belalang adalah jenis yang
berbahan aktif organofosfat seperti fenitrothion(Pracaya,1993).
IV. KESIMPULAN
Adapun
kesimpulan dari dilakukannya praktikum ini adalah sebagai berikut:
1. Gejala
kerusakan yang ditimbulkan berupa rusaknya jaringan daun suatu tanaman dan
berbeda dengan tanaman normal.
2. Jenis hama
yang menyerang antara lain adalah ulat grayak,tungau dan belalang
3. Tipe
mulut hama yang menyerangadalah
mandibulata dan haustelata
4. Prilaku
menyerang hama antara lain dengan menyerang dari tepi daun,tengah daun atau
acak.
5. Cara
pengendalian hama dapat dilakukan dengan pengendalian biologis,mekanis dan
kimiawi.
DAFTAR PUSTAKA
Borror, D.J., Charles A.T., & Norman, F.J.1992. Pengenalan Pelajaran Serangga. Gajah Mada University Press,
Yogyakarta.
Direktorat Perlindungan Perkebunan, Direktorat Jendral Bina Produksi
Perkebunan, Departemen pertanian. 2001. Musuh
Alami, Hama dan Penyakit Tanaman Jambu Mete. Proyek Pengendalian Hama Terpadu
Perkebunan Rakyat, Jakarta.
Mardiningsih,T. L. 2007. Potensi
Cendawan Synnematium sp. Untuk Mengendalikan Wereng Pucuk Jambu Mete
(Sannurus indecora Jacobi). Jurnal Litbang Pertanian, 26(4):146-151.
Natawigena. Hidayat. 1990. Pengendalian Hama Terpadu. Armico.Bandung.
Novizan.2002. Membuat dan Memanfaatkan Pestisida Ramah Lingkungan. Agromedia
Pustaka. Jakarta.
Nyoman. Ida. 1998. Pengendalian Hama Terpadu. UGM Press.
Yogyakarta.
Pracaya.1993. Hama dan Penyakit Tanaman. Penebas Swadaya. Jakarta.
LAMPIRAN
Daun Singkong Daun Kacang panjang Daun Jagung
No comments:
Post a Comment