Tuesday 27 September 2016

laporan PENGENALAN GEJALA KERUSAKAN TANAMAN



PENGENALAN GEJALA KERUSAKAN TANAMAN
(Laporan Praktikum Pengendalian Hama Tanaman)








Oleh

Nasrulloh Zein Maksum
1414121162
Kelompok 8






















JURUSAN AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2016
I.  PENDAHULUAN


1.1  Latar Belakang

Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan manusia akan bahan pangan dan hortikultura, maka pertanian tradisional di Indonesia mulai berkembang dan lebih dipuerhatikan lagi perkembangannya. Tanaman pangan merupakan jenis–jenis tanaman yang mengandung karbohidrat,yang merupakan sumber pangan bagi manusia,sedangkan tanaman hortikultura merupakan tanaman sayur-sayuran dan buah-buahan yang mengandung protein dan lainnya.

Pada bubidaya pertanian petani sering menghadapi suatu masalah besar berupa gangguan hama dan penyakit serta ketidakseimbangan hara. Beberapa serangan hama dan penyakit, sering kali menampilkan keragaan yang serupa tapi tak sama dengan ketidakseimbangan hara. Hama adalahorganisme yang dianggap merugikan dan tak diinginkan dalam kegiatan sehari-hari manusia. Walaupun dapat digunakan untuk semua organisme, dalam praktik istilah ini paling sering dipakai hanya kepada hewan. Dalam pertanian, hama adalah organisme pengganggu tanaman yang menimbulkan kerusakan secara fisik, dan ke dalamnya praktis adalah semua hewan yang menyebabkan kerugian dalam pertanian.

Hama dari jenis serangga dan penyakit merupakan kendala yang dihadapi oleh setiap para petani yang selalu mengganggu perkembangan tanaman budidaya dan hasil produksi pertanian.  Hama dan penyakit tersebut merusak bagian suatu tanaman, sehingga tanaman akan layu dan bahkan mati  Dalam kegiatan pengendalian hama, pengenalan terhadap jenis-jenis hama (nama umum, siklus hidup, dan karakteristik), inang yang diserang, gejala serangan, mekanisme

penyerangan termasuk tipe alat makan serta gejala kerusakan tanaman menjadi sangat penting agar tidak melakukan kesalahan dalam mengambil langkah/tindakan pengendalian. Serangan hama pada suatu tanaman akan menimbulkan gejala yang khas, hal ini terkait dengan alat mulut serta perilaku yang dimiliki oleh masing-masing serangga yang juga memiliki ciri khas tersendiri.


1.2  Tujuan Praktikum
Adapun tujuan dilakukannya praktikum ini adalah sebagai berikut:
1.  Mengetahui kerusakan dan jenis hama yang menyerang dan tipe alat mulutnya
2.  Mengetahui prilaku menyerang hama dan cara pengendalianya.

II.  METODOLOGI PRAKTIKUM


2.1  Waktu dan Tempat

Praktikum ini dilaksanakan pada tanggal 30 Maret 2016 di Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Lampung, pada pukul 15.00 sampai dengan selesai.

 2.2  Alat dan Bahan

Adapun alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah alat tulis berupa pensil atau pena, kertas, dan telepon genggam. Sedangkan bahan yang digunakan adalah Daun singkong, Daun jagung dan daun kacang panjang.

2.3  Cara Kerja

Adapun cara kerja praktikum ini yaitu pertama-tama praktikan diberi penjelasan tentang kegiatan praktikum. Disediakan spesimen berupa daun singkong, daun jagung dan daun kacang panjang.. Kemudian diamati dan ditulis deskripsi gejalanya dan tipe mulut dari hama tersebut. Setelah itu specimen difoto.

III.  HASIL PENGAMATAN DAN PEMABAHASAN


3.1   Hasil Pengamatan
No.
Foto dan Nama
Deskripsi gejala
Tipe dan Alat Mulut
Prilaku Menyerang Dan Bioekologi
Pengendalian
1.
Ulat Grayak

IMG_20160330_160753.jpg
Terdapat lubang di tengah daun
Mandibulata
Menyerang  dari tengah
Fase  yang menjadi hama adalah larva
Sanitasi Lingkungan
Penggunaan Insektisida
2.
Tungau

IMG_20160330_160733.jpg
Terdapat warna kuning memerah pada bagiab tengah tulang daun
Haustelata
Serangan berupa di pertengahan tulang daun
Fase yg menjadi hama:imago
Penggunaan musuh alami
 Penggunaan akarisida
3.
Belalang

IMG_20160330_160744.jpg
Terdapat luka bergerigi di pinggir daun/dimakan belalang.
Mandibulata
Serangan di pinggir.
Fase yg menjadi hama:imago
Sanitasi lingkungan Penggunaan musush alami ,insektisida

3.2  Pembahasan

1.  Ulat Grayak
Bioekologi
Perkembangan ulat grayak bersifat metamorfosis sempurna, terdiri atas stadia ulat, kepompong, ngengat dan telur Ulat tua bersembunyi di dalam tanah pada siang hari dan giat nenyerang tanaman pada malam hari(Borror,1992).
1.  Telur.
Telur berbentuk hampir bulat dengan bagian dasar melekat pada daun (kadang- kadang tersusun dua lapis), berwarna coklat kekuningan, . Telur diletakkan pada bagian daun atau bagian tanaman lainnya, baik pada tanaman inang maupun bukan inang. Bentuk telur ber- variasi. Kelompok telur tertutup bulu seperti beludru yang berasal dari bulu- bulu tubuh bagian ujung ngengat betina, berwarna kuning kecoklatan.  Produksi telur mencapai 3.000 butir per induk betina, tersusun atas 11 kelompok dengan rata-rata 25 -200 butir per kelompok. Stadium telur berlangsung selam 3 hari (2;10;12). Setelah telur menetas, ulat tinggal untuk sementara waktu di tempat telur diletakkan. Beberapa hari kemudian, ulat tersebut berpencaran(Borror,1992).
2.  Larva
Larva mempunyai warna yang ber- variasi, memiliki kalung (bulan sabit) berwarna hitam pada segmen abdomen keempat dan kesepuluh .Pada sisi lateral dorsal terdapat garis kuning. Ulat yang baru menetas berwarna hijau muda, bagian sisi coklat tua atau hitam kecoklatan, dan hidup berkelompok (Gambar 1a). Beberapa hari setelah  menetas (bergantung ketersediaan makan- an), larva menyebar dengan menggunakan benang sutera dari mulutnya. Pada siang hari, larva bersembunyi di dalam tanah atau tempat yang lembap dan menyerang tanaman pada malam hari atau pada intensitas cahaya matahari yang rendah. Biasanya ulat berpindah ke tanaman lain secara bergerombol dalam jumlah besar.  Stadium ulat terdiri atas 6 instar yang berlangsung selama 14 hari. Ulat instar I, II dan III, masing-masing berlangsung sekitar 2 hari. Ulat berkepompong di dalam tanah. Stadia kepompong dan ngengat, masing-masing berlangsung selama 8 dan 9 hari. Ngengat meletakkan telur pada umur 2-6 hari.  Ulat muda menyerang daun hingga tertinggal epidermis atas dan tulang-tulang daun saja. Ulat tua    merusak pertulangan daun hingga tampak lobang-lobang bekas gigitan ulat pada daun.  Warna dan perilaku ulat instar terakhir mirip ulat tanah Agrothis ipsilon, namun terdapat perbedaan yang cukup mencolok, yaitu pada ulat grayak terdapat tanda bulan sabit berwarna hijau gelap dengan garis punggung gelap memanjang. Pada umur 2 minggu, panjang ulat sekitar 5 cm. Ulat berkepompong di dalam tanah, membentuk pupa tanpa rumah pupa (kokon), berwarna coklat kemerahan dengan panjang sekitar 1,60 cm. Siklus hidup berkisar antara 30-60 hari (lama stadium telur 24 hari). Stadium larva terdiri atas 5 instar yang berlangsung selama 20-46 hari. Lama stadium pupa 8-11 hari(Borror,1992).

Pengendalian Secara Teknis
Pengendalian dilakukan dengan melakukan teknis budidaya yang benar. Beberapa upaya teknis untuk mengurangi serangan ulat grayak adalah menjaga sanitasi kebun, pengolahan tanah (pencangkulan dan penggaruan), penggiliran tanaman.
Pengendalian Mekanis
Lakan penangkapan secara manual, terutama terhadap larva. Pengendalian ini efektif dilakukan pada malam hari. Jika ditemukan sekumpulan telur yang berada di permukaan daun dan diselimuti seperti benang kelamat, segera musnahkan(Direktorat, 2001).
Pengendalian Secara biologi
Pengendalian ini pada initinya menitikberatkan pada pemanfaatan musuh alaminya. Terdapat beberapa musuh alami ulat grayak baik dari jenis predator, parasitoid, maupun patogen. Beberapa jenis predator yang bisa dimanfaatkan untuk menekan populasi ulat grayak antara lain Lycosa pseudoannnulata (Araceae), Paederus fuscipes (Coleoptera), Euburellia stali (Dermaptera), dan Eocantheocona furcellata (Hemiptera). Sementara itu, jenis parasitoid yang dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan ulat grayak adalah Apanteles sp. (Hymenoptera), dan Telenomus sp. (Hymenoptera). Sedangkan patogen yang dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan ulat grayak adalah SlNPV dan Beauveria bassiana(Direktorat, 2001).
Pengendalian Kimiawi
Upaya pengendalian kimiawi hanya dilakukan apabila serangan tidak terkendali setelah dilakukan upaya-upaya pengendalian di atas. Ulat grayak tergolong jenis ulat yang mudah resisten atau kebal terhadap suatu jenis bahan aktif pestisida. Oleh karena itu, penggiliran bahan aktif pestisida setiap kali penyemprotan merupakan kunci keberhasilan pengendalian Spodoptera sp. Penggantian bahan aktif dapat memutus resistensi ulat grayak terhadap pestisida. Pengendalian kimiawi dapat dilakukan dengan menggunakan insektisida berbahan aktif sipermetrin, deltametrin, profenofos, klorpirifos, metomil, kartophidroklorida, atau dimehipo dengan dosis sesuai petunjuk yang tertera pada kemasan dan dilakukan secara berseling setiap kali penyemprotan (Direktorat, 2001).

2.  Tungau
Tungau adalah sekelompok hewan kecil bertungkai delapan yang menjadi anggota superordo Acarina. Tungau berbeda dengan serangga (Insecta), tetapi lebih dikategorikan pada laba-laba. Hingga saat ini terdapat puluhan jenis tungau yang sudah ditemukan, tetapi taksonomi tungau belum stabil karena masih ditemukan banyak perubahan(Mardiningsih,2007).

Dalam kondisi kering dengan suhu optimal 27° C tungau dapat menetas dalam waktu 3 hari, dan menjadi dewasa secara 5eksual dalam waktu 5 hari. Satu ekor tungau betina dapat bertelur hingga 20 butir per hari dan dapat hidup selama 2-4 minggu dan dapat meletakkan ratusan telur. Seekor tungau betina tunggal dapat menurunkan populasi hingga satu juta ekor tungau dalam waktu satu bulan. Tingkat reproduksi yang sangat cepat memungkinkan populasi tungau untuk beradaptasi dan melawan pestisida, sehingga metode pengendalian secara kimia menjadi kurang efektif ketika pestisida dengan bahan aktif yang sama digunakan dalam jangka waktu yang lama(Mardiningsih,2007).

Tungau betina bersifat diploid tungau sedangkan tungau jantan bersifat haploid. Artinya, tungau betina merupakan keturunan dari telur yang dibuahi oleh tungau jantan, sendangkan tungau jantan merupakan keturunan dari telur yang tidak dibuahi. Ketika melakukan perkawinan, tungau betina akan menghindari terjadinya pembuahan pada beberapa butir telur untuk menghasilkan tungau jantan. Telur yang dibuahi akan menghasilkan betina diploid. Sementara telur yang tidak dibuahi akan menghasilkan tungan jantan haploid(Mardiningsih,2007).

Tungau menyerang tanaman dengan cara menusuk permukaan daun dan menghisap cairannya. Kerusakan akibat serangan tungau tidak bisa disepelekan. Selain merusak daun, tungau juga berpotensi menyerang batang dan buah. Hama ini menyerang tanaman pada berbagai musim karena memiliki kemampuan beradaptasi di berbagai habitat, seperti lumut, tanah, rumput, bahkan hingga gudang penyimpanan. Tungau bersifat polyfag, semua jenis tanaman diserang.

Gejala Serangan Tungau
Umumnya tungau bersembunyi di balik daun dan menghisap cairan daun dalam jaringan mesofil hingga jaringan itu rusak. Akibatnya klorofil menjadi rusak dan menghambat proses fotosintesis tanaman. Serangan ditandai dengan munculnya bintik kuning di permukaan daun. Bintik tersebut lama-kelamaan melebar lalu berubah menjadi kecokelatan dan akhirnya menghitam. Daun menjadi terpelintir (distorsi), menebal, berbentuk seperti sendok terbalik, serta bagian bawah daun berwarna seperti tembaga dan terdapat benang-benang putih halus (Mardiningsih,2007).

Pengendalian Tungau
Beberapa usaha pengendalian yang dapat dilakukan untuk menghidari terjadinya peningkatan populasi tungau, diantaranya dengan cara mekanis, teknik budidaya, biologis, dan penggunaan bahan kimia (pestisida).
1. Mekanis
Pengendalian tungau yang seringkali dilakukan dengan cara mekanis yaitu, mengambil secara langsung telur, larva, nimfa, atau imago kemudian dimusnahkan; dapat juga dengan menyemprotkan air beberapa kali sehingga tungau tercuci(Natawigena,1990).

2. Teknik Budidaya
Pengendalian dengan teknik budidaya dapat dilakukan dengan menggunakan tanaman atau varietas yang resisten (tahan), rotasi (pergiliran) tanaman, pemupukan, dan sanitasi lingkungan. Pemakaian varietas resisten terhadap serangan tungau belum banyak dilakukan. Hal ini disebabkan karena belum banyak para ahli yang menelitinya, lebih-lebih di negara kita ini.
Di Mesir telah ditemukan varietas kapas yang tahan terhadap serangan tungau Tetranychus telarius yaitu Rahtim-101. Varietas ini memiliki bulu yang lebat dan bercabang sehingga menyulitkan stilet (alat mulut) tungau tersebut untuk menusuknya. Varietas ubi kayu Adira 4, Adira 1, Adira 2, Malang 2, dan Malang 6 adalah tahan terhadap tungau merah ubi kayu (Sinuraya, 2005).
Pemupukan tanaman dapat dilakukan dengan tujuan untuk mengusahakan agar pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik, sehingga diperoleh hasil yang cukup tinggi; akan tetapi apabila jenis dan dosisnya kurang tepat maka dapat memberikan dampak sebaliknya. Sebagai contoh pada pemupukan N yang berlebihan pada tanaman kacang tanah, ternyata dapat meningkatkan serangan tungau Tetranychus telarius lebih tinggi.
Sanitasi merupakan tindakan yang cukup penting, khususnya terhadap tanaman yang telah mendapat serangan tungau berat. Pada tanaman yang terserang berat, apabila telah dipanen sebaiknya dibersihkan dari sisa-sisa bagian tanaman yang menjadi tempat persembunyian tungau.
Pengaturan pergiliran tanaman merupakan salah satu cara usaha pengendalian yang baik terhadap serangan tungau. Pada rotasi tanaman yang perlu diperhatikan adalah agar dalam penanaman berikutnya tidak menanam tanaman yang sama atau tanaman yang sedang menjadi inang bagi tungau saat itu. Selain itu diusahakan menanam tepat waktu, misalnya menanam ubi kayu pada lahan kering hendaknya diusahakan pada saat awal musim hujan(Natawigena,1990).

3. Biologis (Hayati)
Usaha pengendalian biologis dapat dilakukan dengan menggunakan musuh alami, namun demikian di lapang masih belum / bahkan kurang mendapat perhatian pada pengendalian serangan tungau. Penggunaan musuh alami ini akan dapat membantu pelestarian lingkungan (alam sekitarnya), bahkan dapat menghindari terjadinya resistensi (kekebalan) tungau terhadap bahan pengendali kimiawi (pestisida) (Natawigena,1990).
4. Bahan Kimia (Pestisida)
Pengendalian tungau dengan menggunakan pestisida (akarisida) hendaknya dilakukan, bilamana usaha-usaha pengendalian yang lainnya sudah tidak mungkin dapat dilakukan.  Beberapa akarisida yang sudah terdaftar pada komisi pestisida, dan beredar dipasaran antara lain : Omite 57 EC, Morestan 25 WP, Kelthane MF, Plictran 50 WP, Hostathion 40 EC, dan Silosan (Anonim, 1987). Angka yang tercantum pada nama pestisida mununjukkan kadar persentase bahan aktif yang dikandungnya. Apabila angkanya lebih besar dari 90 persen, maka pestisida tersebut murni (technical grade) (Natawigena,1990).

3.  Belalang
Hama Belalang (Locusta migratoria)
Belalang betina mampu menghasilkan telur sekitar 270 butir. Telur berwarnakeputih-putihan dan berbentuk buah pisang, tersusun rapi sekitar 10 cm di bawah permukaan tanah. Menurut BPOPT (2000), telur akan menetas setelah 17 hari(Novizan,2002).

Imago betina yang berwarna coklat kekuningan siap meletakkan telur setelah 5-20 hari, tergantung temperatur. Seekor betina mampu menghasilkan 6-7 kantong telur dalam ta nah dengan jumlah telur 40 butir per kantong. Imago betina hanya membutuhkan satu ka li kawin untuk meletakkan telur-telurnya dalam kantong-kantong tersebut. Imago jant anyang berwarna kuning mengkilap berkembang lebih cepat dibandingkan dengan betina. Lama hidup dewasa adalah 11 hari.

Siklus hidup rata-rata 76 hari, sehingga dalam setahun dapat menghasilkan 4-5 genera si di daerah tropis, terutama Asia Tenggara. Di daerah subtropis, serangga ini hanya menghasilkan satu generasi per tahun. Belalang kembara mengalami tiga fase pertum buhan populasi yaitu fase soliter, fase transien, dan fase gregaria. Pada fase soliter, belalang hidup sendiri-sendiri dan tidak menimbulkan kerusakan bagi tanaman. Pada fase gregaria,belalang kembara hidup bergerombol dalam kelompok-kelompok besar,
berpindah-pindah tempat dan merusak tanaman secara besar-besaran(Novizan,2002).
Perubahan fase dari soliter ke gregaria dan dari gregaria kembali ke soliter dipengaruhi oleh iklim, melalui fase yang disebut transien.Perubahan fase soliter ke gregaria dimulai pada awal musim hujan setelah melewati musim kemarau yang cukup kering (di bawah normal). Pada saat itu, biasanya terjadi peningkatan populasi belalang soliter yang berdatangan dari berbagai lokasi ke suatu lokasi yang secara ekologis sesuai untuk berkembang Lokasi tersebut biasanya berupa lahan yang terbuka atau banyak ditumbuhi rumput, tanah gembur berpasir, dan dekat sumber air (sungai, danau, rawa) sehingga kondisi tanah cukup lembab. Setelah berlangsung 3-4 generasi, apabila kondisi lingkungan memungkinkan, fase soliter akan berkembang menjadi fase gregaria, melalui fase transien. Lokasi ini dikenal sebagai lokasi pembiakan awal(Novizan,2002).

Perubahan fase gregaria kembali ke fase soliter biasanya terjadi apabila keadaan ling kungan tidak menguntungkan bagi kehidupan belalang, terutama karena pengaruh cu rah hujan, tekanan musuh alami dan atau tindakan pengendalian oleh manusia. Perubahan ini juga melalui fase transien (Novizan,2002).

Belalang kembara pada fase gregaria aktif terbang pada siang hari berkumpul dalam kelompok-kelompok besar. Pada senja hari, kelompok belalang hinggap pada suatu lokasi, biasanya untuk bertelur pada lahanlahan kosong, berpasir, makan tanaman yang dihinggapi, dan kawin. Pada pagi hari, kelompok belalang terbang untuk berputar-putar atau pindah lokasi. Pertanaman yang dihinggapi pada malam hari biasanya dimakan sampai habis. Kelompok besar nimfa (belalang muda) biasanya berpindah tem pat dengan berjalan secara berkelompok. Sepanjang perjalanannya jugamemakan tanaman yang dilewati. Tanaman yang paling disukai belalang kembara adalah kelompok Graminae yaitu padi, jagung, sorgum, tebu, alang-alang, gelagah, dan ber bagai jenis rumput. Selain itu, belalang juga menyukai daun kelapa, bambu, kacang tanah, petsai, sawi, dan kubis daun. Tanaman yang tidak disukai antara lain adalah kacang hijau, kedelai, kacang panjang, ubi kayu, tomat, ubi jalar, dan kapas(Nyoman,1998).
Gejala Serangan
Gejala serangan belalang tidak spesifik, bergantung pada tipe tanaman yang diserang dan tingkat populasi. Daun biasanya bagian pertama yang diserang.
Hampir keseluruhan daun habis termasuk tulang daun, jika serangannya parah.Spesies ini dapat pula memakan batang dan tongkol jagung jikapopulasinya sangat tinggi de ngan sumber makanan terbatas(Nyoman,1998).

Pengendalian Hayati
Agens hayati M. anisopliae var. acridium, B. bassiana, Enthomophaga sp.dan Nosuma locustae di beberapa negara terbukti dapat digunakan padasaat populasi belum meningkat(Nyoman,1998).

Pola Tanam
Di daerah pengembangan tanaman pangan yang menjadi ancaman hama belalang kembara perlu dipertimbangkan pola tanam dengan tanaman alternatif yang tidak atau kurang disukai belalang dengan sistem tumpang sari atau diversifikasi.Pada areal yang sudah terserang belalang dan musim tanam belum terlambat, diupayakan segera pena naman kembali dengan tanaman yang tidak disukai belalang seperti, kedelai, kacang hijau, ubi kayu, ubi jalar, kacang panjang, tomat, atau tanaman yang kurang disukai belalang seperti kacang tanah, petsai, kubis, dan sawi(Nyoman,1998).

Mekanis
Melakukan gerakan masal sesuai stadia populasi:Stadia telur. Untuk mengetahui lokasi telur maka dilakukan pemantauan lokasi dan waktu hinggap kelompok belalang dewasa secara intensif. Pada areal atau lokasi bekas serangan yang diketahui terdapat populasi telur,
dilakukan pengumpulan kelompok telur melalui pengolahan tanah sedalam 10 cm, kelompok telur diambil dan dimusnahkan, kemudian lahan segera ditanami kembali dengan tanaman yang tidak disukai belalang(Pracaya,1993).
Stadia nimfa. Setelah dua minggu sejak hinggapnya kelompok belalang kembara mulai dilakukan pemantauan terhadap kemungkinan adanya nimfa. Nimfa dikendalikan dengan cara memukul, menjaring, membakar atau menggunakan perangkap lainnya. Menghalau nimfa ke suatu tempat yang sudah disiapkan di tempat terbuka untuk kemudian dimatikan. Nimfa yang sudah ada di tempat terbuka apabila memungkinkan juga dapat dilakukan pembakaran namun harus hati-hati agar api tidak merembet ke tempat lain. Pengendalian nimfa berperan penting dalam menekan perkembangan belalang(Pracaya,1993).

Kimiawi
Dalam keadaan populasi tinggi, perlu segera diupayakan penurunan populasi. Apabila cara-cara lain sudah ditempuh tetapi populasi masih tetap tinggi maka insektisida yang efektif dan diijinkan dapat diaplikasikan.
Jenis insektisida yang dapat digunakan untuk mengendalikan belalang adalah jenis yang berbahan aktif organofosfat seperti fenitrothion(Pracaya,1993).

IV.  KESIMPULAN


Adapun kesimpulan dari dilakukannya praktikum ini adalah sebagai berikut:
1.  Gejala kerusakan yang ditimbulkan berupa rusaknya jaringan daun suatu tanaman dan berbeda dengan tanaman normal.
2.  Jenis hama yang menyerang antara lain adalah ulat grayak,tungau dan belalang
3.  Tipe mulut  hama yang menyerangadalah mandibulata dan haustelata
4.  Prilaku menyerang hama antara lain dengan menyerang dari tepi daun,tengah daun atau acak.
5.  Cara pengendalian hama dapat dilakukan dengan pengendalian biologis,mekanis dan kimiawi.

DAFTAR PUSTAKA


Borror, D.J., Charles A.T., & Norman, F.J.1992. Pengenalan Pelajaran Serangga. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Direktorat Perlindungan Perkebunan, Direktorat Jendral Bina Produksi Perkebunan, Departemen pertanian. 2001. Musuh Alami, Hama dan Penyakit Tanaman Jambu Mete. Proyek Pengendalian Hama Terpadu Perkebunan Rakyat, Jakarta.

Mardiningsih,T. L. 2007. Potensi Cendawan Synnematium sp. Untuk Mengendalikan Wereng Pucuk Jambu Mete (Sannurus indecora Jacobi). Jurnal Litbang Pertanian, 26(4):146-151.

Natawigena. Hidayat. 1990. Pengendalian Hama Terpadu. Armico.Bandung.

Novizan.2002. Membuat dan Memanfaatkan Pestisida Ramah Lingkungan. Agromedia Pustaka. Jakarta.

Nyoman. Ida. 1998. Pengendalian Hama Terpadu. UGM Press. Yogyakarta.

Pracaya.1993. Hama dan Penyakit Tanaman. Penebas Swadaya. Jakarta.

































LAMPIRAN


















IMG_20160330_160744.jpg

IMG_20160330_160733.jpg
IMG_20160330_160753.jpg

 
Daun Singkong                       Daun Kacang panjang             Daun Jagung

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh4wl7h4HCZtst-vTWcEgcCVmeOnZq_tI6AKH3cuKsU5HN0jySSzE-ZoY2bACp1ncfQ8vYYxqPYHJXsfRHG5MUesfYyXigFUs1haQS61aXo86MNvlNu-6hH1_fNHi_VLrcPhjh9JAEHr1QW/s400/Gambar-1.jpg



No comments:

Post a Comment